Senin, 07 Desember 2009

Tanggungjawab Dalam SCM

Konsep Supply Chain Management (SCM) yang merupakan penyempurnaan dari konsep Logistic Management menjadi demikian populer dalam beberapa tahun terakhir. Lingkup SCM ada di semua bisnis, baik yang sederhana maupun yang kompleks. Sekarang ini, hampir semua perusahaan menerapkan konsep SCM.


Secara garis besar, fokus SCM adalah memperlancar pergerakan rantai informasi dan suplai dari sisi produsen, distributor, jaringan penyangga bisnis, dan juga konsumen. Kita perlu tahu bahwa rantai suplai bisa sederhana, namun juga bisa sangat kompleks. Yang sederhana, dapat dilihat pada rantai jual-beli sembako di warung dekat rumah kita. Di sini, pemilik warung cukup mengidentifikasi apa kebutuhan konsumen di sekitarnya, kemudian ia membeli sembako dari grosir dan menjualnya langsung ke konsumen dengan mengambil untung seperlunya.

Dalam skala yang kompleks, penerapan SCM dapat dilihat pada pabrik makanan kemasan yang memroses bahan mentah menjadi makanan siap saji setelah melalui sekian banyak rangkaian proses. Contoh yang lebih kompleks lagi dapat dilihat pada rantai suplai bahan bakar minyak dan gas (BBMG) atau suplai listrik. Untuk menyuplai BBMG atau listrik hingga ke konsumen, rantainya sangat panjang, dan ada saling ketergantungan antara proses yang satu dengan proses lainnya. Singkat kata, bila ada satu mata rantai proses yang terganggu, maka dapat dipastikan semua rangkaian suplai akan terganggu.

Beberapa fakta di sekitar kita dapat dijadikan contoh tentang konsep SCM yang terganggu, semisal kelangkaan BBMG, pupuk, atau kurangnya pasokan listrik di beberapa daerah. Apa yang salah? Dalam kasus kelangkaan BBMG, alasan yang bisa dikemukakan adalah rusaknya kilang minyak, atau terhentinya pasokan minyak mentah, atau cuaca buruk yang menghambat transportasi BBMG ke daerah tertentu, atau adanya lonjakan pemakaian oleh konsumen, dan banyak lagi alasan lainnya.
Dalam kasus kelangkaan pupuk, bisa dimunculkan alasan berkurangnya produksi karena kurangnya pasokan bahan mentah, atau adanya penimbunan oleh oknum distributor karena harga jual yang tidak menarik lagi.
Dalam kasus kurangnya pasokan listrik, dapat dikemukakan alasan rusaknya pembangkit listrik, atau terhentinya pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik, atau keterbatasan jaringan transmisi dan distribusi, atau karena banyaknya pencurian listrik, atau memang karena kebutuhan konsumen yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen listrik. Singkat kata, makin kompleks rantai suplainya, maka makin banyak alasan yang bisa dikemukakan.

Namun, apakah dalam setiap kejadian terganggunya rantai suplai, dapat dipecahkan hanya dengan cara mengemukakan alasan yang tepat kepada publik? Jawabnya, sudah pasti tidak. Simaklah salah satu contoh ketika terjadi polemik kelangkaan pasokan listrik di Jawa-Bali gara-gara macetnya suplai batubara ke beberapa pembangkit listrik. Penyuplai batubara bilang, armada angkutannya terganggu karena cuaca buruk di laut, sementara produsen listrik tidak bisa berbuat apa-apa.

Faktanya, di saat yang sama, banyak armada angkutan batubara yang memenuhi perairan Laut Jawa untuk ekspor. Rupanya, harga ekspor lebih bagus dari harga dalam negeri. Nah, kalau sudah begitu, siapa yang harus bertanggungjawab kepada publik? Apakah produsen listrik mau ambil tanggungjawab atas kesalahan orang lain? Apakah pemasok batubara mau bertanggungjawab atas kerugian si produsen listrik?

Itulah yang namanya polemik, seperti benang kusut yang sulit diuraikan. Bagi saya, semua pihak ikut bertanggungjawab atas terganggunya rantai suplai tersebut.

Tanggungjawab adalah esensi SCM
Untuk memahami konsep SCM secara lebih sederhana, mari kita memasuki wilayah SCM di rumah tangga. Setiap individu dalam sebuah rumah tangga punya tugas dan tanggungjawab masing-masing. Mereka kemudian punya tanggungjawab bersama untuk mewujudkan keluarga bahagia yang sejahtera. Setiap anggota keluarga menyuplai apa yang diembannya. Dana rumah tangga disuplai oleh sang ayah, urusan rumah tangga disuplai oleh sang ibu, hasil pendidikan disuplai oleh sang anak, dan tugas beres-beres disuplai oleh sang pembantu. Kalau semisal sang anak gagal menyuplai hasil pendidikannya, maka akan terjadi gangguan rantai suplai menuju keluarga bahagia yang sejahtera.

Demikian juga bila terjadi kegagalan suplai oleh anggota keluarga lainnya, maka dapat dipastikan akan sulit mencapai sasaran bersama tersebut. Di dalam menjalankan rantai suplai, tidak ada ruang untuk saling menyalahkan terhadap kegagalan salah satu anggotanya, karena semua telah berikrar untuk bertanggungjawab bersama. Kegagalan salah satu anggota merupakan kegagalan bersama yang harus ditanggungjawabi bersama pula. Dengan demikian, upaya penanggulangan setiap kegagalan yang terjadi, dapat dilakukan bersama dalam konteks kekeluargaan. Apakah dalam bisnis ada konteks kekeluargaan? Jawabnya jelas ada, karena dalam bisnis selalu ada yang disebut kemitraan atau partnership, dan itu sama esensinya dengan kekeluargaan.

Lalu, bagaimana bentuk struktur tanggungjawab itu sendiri? Lihatlah bentuk piramida di Mesir. Satu bongkah batu kita analogikan seperti satu tanggungjawab. Rangkaian batu di bagian bawah piramida, sama seperti rangkaian tanggungjawab yang menopang rangkaian tanggungjawab di atasnya. Demikian seterusnya, hingga ada satu bongkah batu di bagian puncaknya. Ini sama artinya bahwa sang penanggungjawab tertinggi sangat tergantung dengan sekian banyak penanggungjawab di bawahnya. Kalau orang-orang di bawahnya kurang punya rasa tanggungjawab, maka sang pimpinan tidak dapat diandalkan tanggungjawabnya.

Dalam perumpamaan lain, kita bisa melihat sebuah pohon yang setiap anggotanya punya tugas dan tanggungjawab masing-masing. Akar, batang, dahan, ranting, dan daun, punya spesialisasi tanggungjawab. Apa yang bisa diharapkan bila sang akar tidak dapat menyuplai sari makanan ke anggota di atasnya? Apakah kita bisa berharap ada bunga indah atau buah manis sebagai hasil tanggungjawab bersama?

Dari cerita di atas, sekarang kita bisa memahami bahwa setiap mata rantai suplai punya lingkup tanggungjawabnya sendiri, yang membentuk struktur tanggungjawab kolektif dengan semua anggota rantai suplai lainnya. Inilah esensi tanggungjawab berjamaah.
Sumber :
Gunawan Samsu
http://esqmagazine.com/spiritual-management/2009/02/01/47/tanggungjawab-dalam-scm.html
1 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar